Monday, October 31, 2011

acceptance

Acceptance. What’s that supposed to mean? Stuart Wilde bilang dalam bukunya yang sedang kubaca—The Trick to Money is Having Some—bahwa penerimaan (terhadap seseorang) itu faktor fundamental dalam membentuk mental kelimpahan (abundance). Lebih tepatnya dia bilang, “penerimaan (acceptance) adalah salah satu fondasi untuk menerima (receiving)”, dalam hal ini menerima kelimpahan.

Merenungkan kata acceptance, aku setuju bahwa itu kata yang sangat berat untuk dilaksanakan dalam sikap dan tindakan. Menerima (accept) sesuatu atau seseorang sebagaimana adanya tidak selalu mudah. Misalnya, menerima apa adanya seseorang yang berkepribadian-sulit tentu tidak semudah menerima mereka yang secara umum berkarakter menyenangkan. Mungkin bisa dibandingkan dengan menyukai yang indah dan yang tidak indah. Yang pertama sangat mudah dan nyaris kita lakukan secara alamiah/otomatis, sementara yang terakhir membutuhkan niat dan usaha untuk melakukannya.

Kenapa? Karena sejatinya kita indah dan menyukai keindahan. Sebagaimana Sang Pencipta kita yang maha indah dan mencintai keindahan. Tentu kita mewarisi beberapa nama-nama dan sifat-Nya, karena ruh-Nya ada di dalam diri masing-masing kita.

Kembali kepada soal penerimaan (acceptance), yang pertama dan utama adalah penerimaan terhadap diri sendiri. Nah, aku yakin ini masalah bagi kebanyakan orang. Menerima diri sendiri dengan semua kelebihan dan segenap kekurangan benar-benar bukan perkara mudah. Mungkin cara kita dibesarkan menyumbang pada kesulitan ini.

Dari kecil kita dituntut untuk menjadi sempurna dan dalam banyak hal diharuskan memperoleh persetujuan orang-orang di sekitar kita untuk dapat dicintai. Kalau tindakan kita tidak sesuai dengan norma dan ekspektasi orang-orang itu, kita dihukum. Jadi kita dibesarkan tidak dengan cinta yang gratis. Kita dibesarkan untuk belajar bahwa untuk dicintai kita harus mendapatkan persetujuan orang dan memenuhi standar tertentu. Dengan kata lain, kita belajar untuk tidak menerima diri kita apa adanya.

Lalu, setelah pemrograman yang demikian panjang, kita menyadari bahwa semua itu konyol belaka. Kita sama sekali tidak membutuhkan persetujuan siapa pun untuk dicintai. Nilai diri kita bahkan tidak ditentukan semata-mata oleh apa yang kita lakukan. Sebelum kita melakukan apa pun, Tuhan sudah menjamin martabat kita.

Kita adalah manusia yang Tuhan ciptakan di dunia untuk sebuah tujuan. Untuk menjadi wakil-Nya. Karena itu Tuhan telah membekali kita dengan sumber daya berupa akal dan hati. Kita ini makhluk yang berakal dan memiliki hati nurani. Kita bukan sembarang ciptaan. Kita adalah makhluk potensi. Bisa dikatakan kita ini titisan Tuhan, karena ada ruh-Nya di dalam diri kita. Walaupun juga ada bakat untuk jadi pengikut setan. … hehe

So, acceptance. How do we do that? Hmm, gimana yah… pertama-tama mungkin kita harus menyadari terlebih dahulu satu kebenaran sederhana ini: tidak ada makhluk (manusia) yang sempurna. We are not perfect, we are working into perfection.

Kedua, ingatlah bahwa untuk bisa mencintai sesuatu atau seseorang dengan benar maka kita harus menerima dia seutuhnya. Dan itu berarti menerima tidak saja kelebihan-kelebihannya, tapi juga apa pun semua kekurangannya. Stay cool and just take it. TAKE. IT.

Dan bisa jadi kebesaranmu ditentukan oleh seberapa besar yang bisa kau terima. Seberapa kesulitan/tantangan yang bisa kau tahan. Ada orang berkepribadian sulit? Menyebalkan luar biasa dan benar-benar tak tertahankan? —btw, masa sih ada orang kayak gitu, guys? J hehe… sok gak pernah nemuin. Maksudku, orang memang bisa sangat ngeselin, tapi mungkin saja karena pada saat itu kita begitu terbawa suasana dan terpusat hanya pada satu hal yang sangat mengesalkan itu? Maksudku, kita sedang dalam posisi untuk tidak memberikan penilaian yang adil karena kita hanya melihat dari satu sudut saja. (Ups wait, kita memang tidak pernah dalam posisi untuk menilai siapa pun selain diri kita) Kita sedang terpaku pada satu kelemahannya, dan melupakan bahwa pribadi yang menjengkelkan itu juga adalah makhluk Tuhan dengan ruh Tuhan di dalamnya—yang pasti mengandung kebaikan, tidak hanya berisi yang menjengkelkan itu.

So, what I’m trying to say is, bahwa sikap terbaik untuk menghadapi sesuatu atau seseorang atau apa pun yang tampak sulit untuk diterima adalah dengan mencoba menerimanya. TAKE. IT. ;p []

bekasi, some midnite

Friday, October 28, 2011

Kekonyolan vs Kearifan


I’ve been wondering, apa ada hubungan antara kekonyolan dan kearifan. Kekonyolan dalam KBBI dijelaskan sebagai perihal konyol; kekurangajaran. Sementara konyol sendiri diartikan tidak sopan; kurang ajar; agak gila; kurang akal; tidak berguna; sia-sia.

Aku tiba-tiba berpikir mungkin kedua kata ini ada kaitannya, karena seringkali kujumpai karakter yang sering menunjukkan kekonyolan juga di lain waktu menampakkan kebijaksanaan yang luar biasa. Maksudku ‘kujumpai’ adalah kutemukan dalam film atau buku. Di dunia nyata aku belum menemukan banyak contoh untuk karakter konyol+bijak ini. Yang kerap kutemui—dan sepertinya sudah merupakan suatu kebenaran—bahwa orang cerdas biasanya lucu atau punya selera humor tinggi. Semakin cerdas semakin lucu J

Film yang melatari asumsiku itu adalah sebuah serial TV luar negeri yang sangat kugemari. Merlin. Tokoh favoritku di film itu juga bernama sama dengan judul filmnya, Merlin. Tokoh sangat luar biasa, tapi sekaligus yang kelihatannya paling biasa kalau Anda perhatikan sekilas dari tampilan luarnya saja. Dia seorang pemuda dengan standar penampilan yang biasa—tidak jelek dan juga tidak terlalu tampan. Postur juga tidak macho, bahkan cenderung kerempeng. Pembawaannya secara umum ceria. Auranya positif karena sangat baik hampir kepada semua orang. Soal keahlian—di luar bakat sihirnya—Merlin bukan orang yang jago dalam hal tertentu, tapi dia orang yang cepat belajar. Gayanya selenge’an agak slebor, kadang bahkan terkesan ceroboh atau sembrono. Dan, dalam beberapa hal sering melakukan kekonyolan—entah dengan kata-katanya, sikap, atau tindakannya. Hmm, J

Itu dari sisi luarnya. Yang lebih dalam dari itu, Merlin adalah karakter yang luar biasa bijaksana dan besar hati. Dia senang berbuat baik kepada orang lain tanpa pamrih. Boro-boro pamrih, pengakuan pun sering tidak dia dapatkan, dan dia tidak masalah dengan itu. Entah sudah berapa kali Merlin menyelamatkan tuannya (Arthur) dari marabahaya bahkan kematian, tanpa seorang pun yang mengetahui—termasuk Arthur sendiri. Karena itu balasan yang sering dia terima bukannya ucapan terima kasih atah imbalan berharga, melainkan justru bentakan dan cacian. Hmmm. Dan Merlin tidak pernah protes atau jadi menyesal karena sudah melakukan kebaikan. Luar biasa ‘kan hatinya?? Hebattt!!! Aku mau punya hati seperti itu, Tuhan. Do You hear me?? I want that kind of heart! (I know your hear me, God. I didn’t mean to shout—sorry J )

Jadi, untuk asumsi konyol+bijaksana, Merlin bisa jadi bukti. Yang lain? Ada. Abu Nawas? Nasruddin? Ah, aku kira asumsiku ada benarnya, dan mungkin ada contoh lain yang aku tidak/belum tahu.

Lalu, kenapa kira-kira kekonyolan bisa berjodoh dengan kearifan atau sebaliknya? Salah satu alasannya menurutku, adalah karena untuk tampak konyol diperlukan jiwa yang besar, yang tidak berego tinggi. Berapa banyak orang yang rela tampak bodoh/konyol di hadapan orang lain? Hanya orang yang sudah tahu dan yakin dengan nilai sejati dirinya, yang tidak keberatan tampak seperti itu.

Mungkin itu sebabnya para nabi tidak sakit hati dan sewot ketika mereka dihina-hina para musuhnya. Mereka sudah mengetahui dirinya—menyadari nilai dirinya yang sebenarnya.

Singkatnya, berlian dilempari lumpur tetaplah berlian—tidak lantas turun derajat jadi batu kotor murahan. Dan monyet dikasih kalung berlian dan gaun malam mewah tetaplah monyet, yang pasti selalu pecicilan apalagi di dekat meja prasmanan.

So, intinya…. Entah itu konyol atau bijaksana, atau sifat apa pun yang lainnya, hanya akan sejati kalau Anda benar-benar menjadi. Maksudnya, dalam asumsi konyol+bijaksana, sifat yang pertama tidak menandakan kebodohan yang sebenarnya; sementara yang kedua, bijaksana, adalah karakter sejati yang diresapi dan diwujudkan dalam sikap tindakan. Dengan kata lain, Merlin misalnya, dia menjadi bijaksana—bukan hanya kelihatan bijaksana. Sejatinya dia memang bijaksana, dan sejatinya dia tidak konyol seperti sering kelihatannya. Itulah sebabnya konyol+bijaksana bisa “bersatu”.[]

Bekasi, 28 Oktober 2011

11.43 WIB

Friday, July 03, 2009

Lupa

kau memberiku bukan yang terbaik
dan aku merasa terusik
mengapa bukan yang terbaik?

apa sebenarnya masalahmu padaku
salah apa pernah kubuat padamu
hingga kau merasa pantas memberiku
yang kedua
yang tiada kusuka

tapi aku berpikir kembali
mungkin bukan tentang kamu semua ini
tapi sesuatu jauh di lubuk hatiku
yang kabur atau terkubur tak pernah kutahu

bahwa aku telah berharap padamu
untuk menunjukkan sedikit hormat padaku
ugh, siapa kini yang bodoh!!

kebodohan itu
aku lupa kembali melakukannya
mengira hormatmu—atau siapa saja—penting bagiku
lupa bahwa eksistensiku sama sekali
tak berkait terhubung dengan semua itu


20 Juni ‘09

Wednesday, July 01, 2009

Syahrir dan Perempuan

Terlahir pada 5 Maret 1909 sebagai putra Minang dan mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah terbaik saat itu, telah menumbuhkan Syahrir sebagai pemuda yang matang dalam cara berpikir dan kepribadian. Untuk tingkat pendidikan dasar ia menjalaninya di sekolah ELS dan Mulo terbaik di Medan, kemudian dilanjutkan pendidikan menengah atas Algemeene Middelbare Scholl (AMS) jurusan Westren Klassiek di Bandung. Yang terakhir pun adalah sekolah mahal yang didirikan Belanda saat itu.

Sepanjang riwayat pendidikannya itu Syahrir dikenal sebagai siswa yang cerdas, cepat menangkap pelajaran. Bacaannya bukan hanya buku-buku pelajaran melainkan buku-buku asing dan novel Belanda. Sementara itu di luar sekolah—terutama ketika di AMS—ia aktif dalam berbagai kegiatan dan organisasi yang menempa dan melengkapi proses pertumbuhannya sebagai pemuda yang cerdas dan matang.

Di AMS ia terlibat beberapa kegiatan penting di antaranya aktif dalam sebuah study club bernama Patriae Scientaieque (PSQ) yang artinya ‘untuk tanah air dan ilmu pengetahuan’. Selain itu ia bergabung dalam Jong Indonesia atau yang lebih dikenal kemudian dengan Pemuda Indonesia. Kiprahnya yang paling menonjol pada masa ini adalah keberhasilannya mendirikan suatu perguruan nasional “Cahya” yang bertujuan membantu upaya memberantas buta huruf di masyarakat. Dari sini jiwa kepeduliannya untuk mencerdaskan dan meningkatkan martabat bangsa sudah mulai tampak.
Selesai menamatkan AMS di Bandung, pada 1929 Syahrir muda lantas melanjutkan studinya ke negeri Belanda. Di sana ia mengambil studi jurusan hukum di universitas Leiden.

“Selama sesungguhnya kebinatangan di dalam manusia lebih kuat, maka selama itu pula tidak berguna segala propaganda untuk menginsafkannya.”


Adil dan Berani
Diceritakan bahwa dalam sebuah forum rapat di Bandung bersama Soekarno dan kawan-kawan, Syahrir melakukan tindakan yang cukup mencengangkan. Dalam suasana rapat itu Soewarni yang Ketua Poetri Indonesia mengkritik dan mendebat Soekarno. Soekarno yang tidak terima sontak menanggapi dengan mencaci dan banyak menggunakan bahasa Belanda.
Syahrir selaku pimpinan forum segera mengetukkan palu dan meminta Soekarno agar tidak menggunakan bahasa Belanda dan lebih menghormati perempuan.

Yang mengagetkan sebagian orang ketika itu—terutama para pendukung Soekarno—adalah keberanian Syahrir menegur sang ‘idola’ revolusi paling popular saat itu, Soekarno. Demi kepentingan membela seorang perempuan pula. Tetapi itulah Syahrir, yang tak gentar pada siapa pun dalam mengemukakan kebenaran tanpa sama sekali merasa khawatir dengan konsekwensi-konsekwensi dari tindakannya yang tegas dan terbuka itu.

Tanpa teori atau pernyataan eksplisit mengenai sikap dan pandangannya terhadap kaum perempuan, dari insiden ini kita bisa melihat bagaimana sikap Syahrir terhadap kaum perempuan. Pada masa itu—bahkan pada saat ini di beberapa tempat—di mana budaya patriarki masih lekat dengan sebagian bangsa Indonesia, sikap Syahrir di atas merupakan suatu kemajuan dan keberanian. Meski tidak ada penjelasan tertulis mengenai hal ini, sikap Syahrir tersebut bisa kita pahami dari catatan-catatan pemikirannya yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Betapa dia amat mempedulikan sesamanya dan mendambakan kebebasan dan kesejahteraan bagi setiap manusia, karena sejatinya setiap manusia adalah makhluk yang merdeka dan berpotensi tak terbatas.

Melihat Potensi
Sementara itu semasa studinya di negeri Belanda, di sana ia bertemu seorang mahasiswi asal Indonesia, Maria Ulfah Subadio. Ia adalah seorang putri Bupati Kuningan yang sedang belajar di fakultas Hukum Universitas Leiden. Sebagaimana diceritakan Maria dalam buku Mengenang Syahrir (Gramedia, 1980), suatu kali setelah berkenalan Syahrir menanyakan bagaimana rasanya Maria menjadi anak gadis Indonesia yang belajar di negeri Belanda. Dari satu pertanyaan pembuka itu kemudian Syahrir mengetahui bahwa Maria kurang lebih memiliki semangat dan cita-cita yang selaras dengan cita-citanya membangun bangsa. Syahrir kemudian mengajak Maria ke pertemuan liga anti-kolonialisme yang diadakan di Gedung Bioskop Hooge Woerd di Leiden. Di sana ia memperkenalkan Maria Ulfah kepada sang pembicara utama, Jef Last.
Dari sini pun tampak sikap dan cara pandang Bung Kecil ini terhadap kaum perempuan. Ia sama sekali tidak meremehkan atau membedakan potensi dalam diri kaum laki-laki dan kaum perempuan. Dalam keduanya ia melihat potensi yang sama—sama-sama sebagai manusia—untuk tumbuh dan berkembang menjadi dirinya yang terbaik.

Kepercayaannya kepada Maria Ulfah tidak berhenti ketika mereka berpisah karena Syahrir harus pulang ke Indonesia lebih awal. Pada masa kepemimpinanya di kabinet ia mempercayakan suatu kedudukan yang penting kepada Maria, menteri sosial. Selain karena potensi dan semangat yang diperlihatkan dalam diri Maria Ulfah, hal seperti ini akan sedikit mustahil jika tanpa adanya kepercayaan dan pandangan yang terbuka dari Syahrir, bahwa seorang perempuan pun bisa melaksanakan tanggung jawab yang besar. Berkat persinggungannya dengan berbagai ilmu pengetahuan dan khasanah kebudayaan, Syahrir memang dikenal memiliki pola pikir dan pandangan jauh ke depan yang melampaui zamannya.

“Kemerdekaan hanyalah merupakan jembatan untuk mencapai tujuan yaitu kerakyatan; kemanusiaan; kebebasan dari kemelaratan, tekanan dan penghisapan; keadilan; pembebasan bangsa dari genggaman sisa-sisa feodalisme; pendewasaan bangsa.”


Memandang Setara
Hal lain yang perlu diingat mengenai Bung Kecil yang berbuat besar ini adalah saat-saat ketika ia menjalani masa pembuangannya di Banda Neira. Ketika baru-baru saja dipindahkan ke sana dari Boven-Digoel, Mohammad Hatta memperhatikan bahwa ada kemungkinan Syahrir yang riang akan dilanda demam kesepian. Dan itu tentu saja membuat beliau khawatir karena Hatta sendiri senantiasa berpesan kepada kawan-kawannya seperjuangan yang diasingkan agar menjaga diri dari pengaruh buruk kondisi dan situasi dalam pembuangan.

Namun kekhawatiran itu tak terjadi karena rupanya Syahrir menemukan penghiburan dan kegembiraan dengan kehadiran anak-anak yang dikenalnya di lingkungan baru tempat dia tinggal. Mereka adalah anak-anak Banda berusia 8-10 tahun, yang belum atau tidak bersekolah karena keadaan yang tidak memungkinkan. Lebih jauh dari sekadar menghabiskan waktu dengan bermain bersama, Syahrir memberikan pendidikan rutin kepada anak-anak itu. Ia mengajarkan kepada mereka pelajaran membaca, berhitung, sejarah, bahasa Belanda, dan lain-lain. Dari beberapa anak yang rutin belajar padanya, di kemudian hari ketika ia bersama Hatta dipindahkan ke Sukabumi, Syahrir membawa serta bersamanya tiga orang di antara mereka. Ketiga anak ini menjadi anak angkat Syahrir: Lily, Mimi, dan Ali.

Sebagaimana dituturkan dalam kumpulan tulisan Mengenang Syahrir (Gramedia, 1980), para anak asuh ini menggambarkan sosok Syahrir yang sangat menyenangi anak-anak dan selalu bergembira jika sedang bersama mereka. Ia tidak hanya menemani bermain atau memberikan pelajaran, tapi juga mengajak jajan-jalan menikmati keindahan alam sambil bernyanyi lagu Indonesia Raya.

Cara Syahrir menghabiskan waktunya dengan anak-anak, caranya mencintai dan tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap anak laki-laki dan perempuan, mencerminkan karakter dan kepribadiannya yang sangat simpatik. Tanpa membeda-bedakan perlakuan dan penilaian terhadap anak laki-laki atau anak perempuan, ia sepertinya menganggap anak-anak adalah benih-benih kekuatan di masa mendatang yang layak mendapatkan curahan perhatian dan kasih saying penuh dari dirinya. Lagi-lagi, Syahrir selalu menyadari segala sesuatu lebih awal dari yang lain. Di kala kebanyakan masyarakat cenderung acuh tak acuh terhadap pendidikan dan pertumbuhan anak-anak pada usia sangat dini, Syahrir telah mempraktekkan penghargaan dan perhatian yang besar kepada anak-anak.

Baginya anak-anak, laki-laki atau perempuan, adalah tunas yang akan tumbuh menjelma menjadi kekuatan yang besar jika dirawat dengan baik. Dan perawatan itu tentunya adalah melalui kasih sayang dan pendidikan.
“Bukan kehidupan kosmis yang kita kehendaki, tapi kehidupan manusia, manusia yang lebih tinggi, lebih dalam, lebih bagus sebagai jenis.”

Monday, July 07, 2008

Pengaruh Media vs Bahaya Narkoba

Dua frasa itu tidak ada kaitannya secara langsung, saya cuma mau membandingkan efek yang dihasilkan keduanya dalam kehidupan nyata. Manakah yang lebih berbahaya?

Pertama, mari bicara tentang media—tapi setelah itu saya tidak berniat membicarakan narkoba ya, jadi ini pembahasan yang pertama dan terakhir, hehe. Pada zaman sekarang, saya rasa inilah kekuatan raksasa mahadahsyat, yang sebagaimana semua senjata sakti bisa sangat bermanfaat sekaligus mungkin mendatangkan kematian bagi sang empunya. Hiiyyy ngeri… gak percaya? Sebagai permulaan, tonton aja “Mad City” garapan sutradara Costa-Gavras.

Kata orang-orang bijak, juga menurut kitab suci suatu agama, ekstremisme atau berlebih-lebihan dalam hal apa pun mendatangkan hasil yang tidak baik. Saya kira begitupun halnya dengan media atau profesi jurnalisme. Pada titik tertentu ia bisa bertolak belakang dengan tujuan awalnya: menyediakan informasi akurat nan jujur dan adil paling up to date bagi khalayak.

Dalam film Mad City, tokoh utama Sam Baily, yang diperankan dengan sangat baik oleh John Travolta, adalah contoh korban ekstremisme media. Terlepas dari keluguan dan kebodohan ‘bawaan’ sang tokoh, ia telah menjadi bulan-bulanan para penjahat media yang rakus dan hanya menggunakan sedikit pertimbangan kemanusiaan. Mengedepankan keuntungan bisnis baru menyesal kemudian, itu pun kalau cukup punya nurani dan rasa kemanusiaan, kalau enggak ya cuek aja.

Keterlibatan media dalam peristiwa yang sedang dialami sang tokoh memang tidak secara langsung dan kasat mata melukai atau membunuhnya. Tapi pada akhirnya memang media lah yang telah membunuhnya. Di dalam film tersebut diceritakan sang tokoh yang sudah terkepung para polisi dan anggota FBI akhirnya memutuskan bunuh diri dengan meledakkan granat. Dia memilih mati setelah beranggapan bahwa masa depannya pasti akan ‘kelam’—yang tentu saja ini adalah hasil kerja media yang telah dengan gemilang berhasil memblow-up cerita dirinya sampai jadi berita dunia. Sam, dari seorang pegawai biasa yang sama sekali tidak popular menjadi kriminal berbahaya yang mendapat kecaman seluruh dunia. Terlepas dari keluguan dan kebodohan ‘bawaan’nya, yang paling memungkinkan semua itu tentu saja adalah media. See …. Ngeri banget kan?

Jadi, bagi kita yang bukan orang-orang media, inilah film yang memperingatkan kita untuk lebih berhati-hati dengan dampak besar media, bahwa ternyata media bisa ‘sekejam’ itu.

Sementara bagi sebagian kita yang merupakan orang-orang media, please … jangan—atau jangan terlalu seringlah—melampaui batas (cross the line), toh kita sama-sama manusia yang punya hati nurani, yang pasti akan merasa ‘tidak enak’ kalau menyadari bahwa tindakan kita telah membantu orang lain mengakhiri hidupnya sendiri.

Jadi, lebih berbahaya mana kalo dibandingkan dengan penyalahgunaan narkoba? Saya yakin Anda lebih tahu jawabannya, yang jelas keduanya bisa mengantarkan seseorang pada kematiannya.[]

Monday, March 31, 2008

Humor & Islam

Humor atau joke dalam bahasa Inggris kurang lebih berarti kejenakaan, candaan, yang salah satu tujuan utamanya adalah menimbulkan tawa. Bentuknya pun bisa sangat beragam mulai dari cerita—yang panjang maupun singkat, sekadar celetukan, atau selingan dalam pembicaraan yang serius—apa pun, yang ujung-ujungnya bikin sudut bibir tertarik atau tawa meledak.

Pertanyaannya kemudian, adakah humor dalam agama (Islam)? Jawabannya Ada. Nabi kita pun diceritakan bercanda dalam beberapa kesempatan. Yang perlu diperhatikan adalah ‘aturan tersembunyi’ dalam bercanda ala Islam. Dengan adanya beberapa aturan ini, tidak semua orang pandai menciptakan atau bahkan sekadar bisa menikmati suatu humor—terutama humor cerdas, yang tertawa bukan menertawakan.

Lantas, adakah humor dibahas secara khusus dalam al Quran? Sepertinya tidak. Kenapa? Karena, menurut saya, humor itu ibarat sebuah bumbu dapur. Ia bukan bahan utama. Ia adalah pemberi rasa. So, anda bisa memasak suatu bahan makanan tertentu tanpa menggunakan satu bumbu, misalnya. Ia tetap akan menjadi sebuah masakan yang bisa dimakan, hanya saja mungkin kurang lezat.

Dengan kata lain, anda masih bisa hidup tanpa humor, but your life will be ‘vewy vewy bowing’ alias ‘gawing’

whahaha….

Kemudian Om Ichan mengabarkan, kok orang Islam dikit banget yang pake atau suka humor? Makin islami kok ya makin ngeri—baca=jauh dari humor?

Menurut saya gini Om, itu karena humor berkaitan erat dengan kecerdasan. Untuk menciptakan humor yang baik (terutama menurut agama kita) kita harus tetap memegang nilai-nilai moral di antaranya jangan boong, jangan menghina, menyakiti, atau mempermalukan sesuatu atau seseorang,dan pastinya jangan menyesatkan. Intinya, kita berhumor untuk tujuan yang baik-baik—menghibur, menciptakan perenungan, menyampaikan pesan moral, dst. Landasannya, kita tertawa tetapi bukan mentertawakan orang lain. sadisnya, jangan terbahak-bahak di atas penderitaan penderitaan orang lain.


Mengapa orang islam sedikit humor?


They might be:

Ø too afraid—of being wrong, of not good enough

Ø too careful

Ø too narrow-minded

Ø confuse seriousness and stiffness (padahal kesungguhan gak ada hubungannya sama kekakuan lho sodara saudagar…)

Ø too vulnerable…hehe, (secara rasa terlalu gampang tersinggung dan ‘terluka’ whahaha…dan kurang berlapang dada, kegedean pride ato bangga sama yang ngga-ngga)

Ø got no bloody flexibility,

Ø got no damn fast-thinking and creativity. Hihi… jadi sekali diserang langsung mati atau tanpa ba bi bu bikin sang penyerang mati (dalam arti yang sesungguhnya kali ini)

Shortly, just not intelligent—intellectually + emotionally—enough to create and take humor in their lifes.

Padahal dunia ini hanyalah sekadar ‘lahwun wa la’ibun’. Poor Moslems…

Ciputat, 29 Maret 2008

Soeharto; Apanya yang Dimaafkan?*

Oleh: Aisyah


Kian hari, kabar kondisi mantan presiden RI Soeharto semakin menjadi berita utama. Berbagai kalangan pun ramai-ramai memberikan opini. Perdebatannya seputar kondisi terkini Pak Harto, kasus hukum yang bersangkutan, hingga persoalan dimaafkan atau tidak ‘bapak pembangunan’ kita ini.

Persoalan “maaf-memaaafkan” ini sungguh jadi menarik. Ada yang menggunakan dasar agama, moral, sampai kemanusiaan. Padahal apa dan kenapa harus ada ‘maaf-maafan’ ini saja belum jelas benar. Dan lagi, apakah prosesnya sesederhana itu? Seperti dua insan bertemu saat lebaran dan bersalaman sembari saling meminta maaf, lalu tertawa bersama—lega, merasa tak ada lagi dosa?

Berbicara maaf-memaafkan tanpa jelas apa/siapa dan kenapa ada sikap ini, adalah penyederhanaan persoalan yang semena-mena. Terkait dengan kondisi kesehatan dan kasus hukum Pak Harto, persoalannya tidak sesederhana seperti dua orang bersalam-salaman di hari lebaran. Ada berbagai peristiwa sejarah yang tidak bisa bangsa ini lupakan begitu saja.

Dalam bukunya The Missing Link, Sydney Banks mengatakan bahwa ada perbedaan besar antara memaafkan orang dan memaafkan perbuatan. Saya sangat setuju.

Di satu sisi, memaafkan orang berarti membebaskan diri dari perasaan-perasaan negatif dan atau ingatan-ingatan kelam di masa lalu. Dari sudut kesehatan dan psikologi, tentu ini sangat baik kita lakukan. Sangat menyehatkan. Namun di sisi lain, memaafkan perbuatan adalah ‘merelakan’ diri untuk diperlakukan dengan perbuatan serupa di masa depan.

Bagi saya jelas sekali perbedaannya. Yang pertama adalah tindakan bijak, yang kedua adalah tindakan bodoh. Kenapa?

Sekali lagi, memaafkan orang adalah sungguh perbuatan yang mulia. Dibutuhkan lapang dada atau kebesaran hati untuk bisa memaafkan perbuatan salah seseorang terhadap diri kita. Dengan rendah hati kita harus menyadari bahwa manusia tidak lepas dari lupa dan kesalahan. Tidak ada manusia yang sama sekali luput dari lupa atau kesalahan. Termasuk nabi sekalipun. Dan sebagai konsekuensinya, kita mesti ‘ikhlas’ menerima ‘ongkos’ dari perbuatan lupa atau salah tersebut. Sungguh bukan perbuatan yang mudah, terutama jika kita mengalami sendiri dampak dari perbuatan lupa dan salah tadi. Dan jelas, dampak di sini adalah sesuatu yang tidak menyenangkan, baik itu merugikan maupun menyakitkan.

Dalam kasus Pak Harto, berapa banyak orang yang mengalami kerugian dan kesakitan selama masa hidup di bawah rezim kekuasaannya? Semua tuduhan yang sekarang ditujukan padanya—korupsi, kolusi, nepotisme dan jenis pemanfaatan kekuasaan lainnya untuk kepentingan pribadi selama berkuasa, jika itu terbukti benar, adalah bukan perbuatan yang sepele dan bisa begitu saja dilupakan. Butuh kebesaran hati yang luar biasa untuk menerima semua akibat buruk lalu memaafkan orang yang menyebabkannya, dan melanjutkan hidup.

Tetapi tentu saja, kita tidak boleh berhenti di situ. Memaafkan, lalu selesai sudah semua persoalan. Kemanusiaan seseorang adalah satu hal, perbuatan-perbuatannya yang disengaja adalah hal lain. Dengan memaafkan seseorang bukan berarti melupakan begitu saja semua perbuatan buruknya.

Kita tidak hidup tanpa hukum dan aturan. Kita punya nilai-nilai yang kita junjung tinggi dalam kehidupan. Di antaranya adalah nilai keadilan dan kesamaan di hadapan hukum. Bagi setiap perbuatan salah, ada hukum yang harus ditegakkan. Demi keadilan, siapa pun yang berbuat salah maka dia dikenakan sanksi atau hukuman. Dan Indonesia, sebagai negara yang mengaku negara hukum, proses ini tentu tidak bisa diabaikan. Apa pun alasannya.

Dalam hal ini, kita tentu tidak ingin menjadi bangsa yang lugu dengan mengaburkan makna memaafkan. Sok menjadi bangsa yang pemaaf, tapi terjerumus pada kebodohan membiarkan diri diperlakukan tidak adil dan semena-mena. Idealnya, kita adalah bangsa besar yang bisa memaafkan. Pengalaman sejarah kita jadikan pelajaran dalam bersikap ke depan, bukan kita lupakan.

Dalam rangka menjadi bijak, mari kita maafkan seorang Soeharto dengan cara tidak membenci dan menghujatnya di saat dia dalam kondisi kesehatan yang kritis. Dan dalam rangka menjadi bangsa yang cerdas, mari kita teruskan proses hukum atas kasusnya sampai tuntas. Dari situ semoga kita bisa belajar untuk tidak membuatnya terulang di masa depan, siapa pun pelakunya.[]

*dibuat dan dikumpulkan pada Sabtu 26 Januari 2008, sebagai PR untuk kelas ’menulis di media’ oleh Farid Gaban. J

Wednesday, July 11, 2007

No problemo

Hari ini aku merasa sepi
Gak seru sama sekali

Hari ini aku gak ngliat pagi
Tanpa dosa bangun tidur langsung mandi
Gosok gigi lalu pergi
Jauh dari pagi menjelang tengah hari
Dan tanpa berlari

Tidak ada yang salah
Jadi tak ada yang perlu disesali
Tidak ada yang kurang
Jadi tidak perlu ada yang ditangisi

It’s ok kalo lagi gak jelas
Cuma bentuk kemanusiaan yang diperjelas
Ntar juga normal lagi
Mungkin saatnya bebas berekspresi
(Hihi...)

Satu-satunya solusi
Adalah menghabiskan seluruh energi
Sampai bosan, lelah, dan tak mampu lagi bertahan
Kayak batere lowbat di tengah jalan

Lalu...
Zz..zz...z..

charging is complete!


TPP_teupuguhpisan

keep moving

Aku yakin pasti ada hikmahnya …no need to worry… keep trusting in Him and his destiny. He loves you beyond your imagination and knowledge.
Tapi sumpah… sometimes berat rasanya.
Aku tahu pasti ada hikmah di balik ini… pasti ada berkat dan rahmat dari pintunya yang lain. Jangan menatap pintu yang sudah tertutup itu begitu lama. Terpaku. Sudah…relakan saja, lebih baik sambut dan nantikan rahmat-Nya yang lain dan tak terhitung. Hanya jika kau mau menyadari…
tidak cukup sibuk menangis dan meratapi diri.
Cinta, hny…yang akan membuat seseorang kuat dan mampu bertahan
La yukallifullahu nafsan illaa wus’aha
Be strong, be fearless, hny...
keep moving lively! :)